CORAK
KEPEMIMPINAN IMAM MALIK
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Kepemimpinan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Dr. H. Munasir, MM

Disusun Oleh :
Abdur
Rouf (162610000341)
Ahmad Rozin Faiz (162610000344)
Agus Purnomo (162610000343)
![]() |
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(UNISNU) JEPARA
2018
![]() |
KATA PENGANTAR
Puja-puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul “CORAK KEPEMIMPINAN IMAM MALIK”
Tidak
lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang mengampu “Kepemimpinan Pendidikan Islam“ dan
teman - teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh
sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga
dengan selesainya tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman- teman.
Amin.
Jepara,
12 Januari 2018
PENULIS
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Imam Malik
adalah tokoh empat besar Imam Mazhab yang dilahirkan di Madinah dan wafat di
Madinah. Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali ketika menunaikan
ibadah haji. Selain memiliki kemampuan dalam menghafal al-Qur’an dan Hadits,
Imam Malik bin Anas terkenal berani dalam menyampaikan fatwa atau pendapatnya.
Dia hidup pada pemerintahan Umawiyah dan Abasiyah. Pada periode tersebut
terdapat tiga aliran Islam, yaitu Khawarij, Syiah, dan Jumhur. Tiga kelompok
ini berpegang teguh, merasa bangga kepada pendapat masing-masing, dan berusaha
mempertahankannya. Hal ini juga mendorong Imam Malik untuk tetap sebagai ahlul
hadits dalam berijtihad.
Selain itu, Imam
Malik bin Anas terkenal sebagai ahli hadits dalam pengambilan hukum. Hal ini
menjadi ciri khusus pola pemikiran pengambilan hukum Imam Malik. Hal itu karena
terkait dengan keadaan lingkungan di Madinah yang merupakan tempat dimana
Rasulullah hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan
sederhana. Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu Hadits namun dirinya juga
tetap dipengaruhi penggunaan rasio dalam berijtihad. Hal ini dibuktikan dengan
penggunaan dalil dari amalan ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah), fatwa
sahabat, qiyas, al-maşlahah mursalah, Aż-żari’ah, al-‘urf (adat istiadat) dalam
pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga seperti mazhab lain dengan
al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam.
Hal ini tentu
saja karena adanya pengaruh kompleksitas permasalahanpermasalahan tertentu yang
tidak bisa ditemukan secara tekstual dalam kedua sumber utama hukum Islam.
Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya karena dipengaruhi perkembangan dan
perubahan-perubahan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Kehidupan Imam Malik?
2.
Bagaimana Corak Kepemimpinan Imam Malik ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk Mengetahui
Biografi Imam Malik.
2.
Untuk Mengetahui
Corak Kepemimpinan Imam
Malik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Kehidupan Imam Malik
Imam Malik memiliki
nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin
Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah
Al-Madani dan merupakan imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari
Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin
Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah.
Imam Malik dilahirkan
di kota Madinah, dari sepasang suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah binti
Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi,
tetapi seorang tabi'in yang sangat minim sekali informasinya. Buku
sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama
Zulmarwah, suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja
sebagai pembuat panah.[1] Kakek Malik, Abu Umar,
datang ke Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya kakek
Malik ini tidak termasuk golongan sahabat, tetapi masuk golongan tabi’in.[2]
Tentang tahun
kelahirannya, Adz-Dzahabi berkata, "Menurut pendapat yang lebih shahih
Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah, yaitu pada tahun dimana Anas, pembantu
Rasulullah, meninggal.[3] Para ahli tarikh berbeda
pendapat, Yasin Dutton menyatakan kemungkinan pada 93 H/711 M.[4] Ibnu khalikan menyebut 95
H, ada pula yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada pula yang menyatakan 97 H.
Tetapi mayoritas ulama cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H pada masa
khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal tahun 179 H. Jadi
Imam Malik 13 tahun lebih muda dari rekannya yang termasyhur, Imam Abu Hanifah.[5] Mengenai sifat-sifatnya
Mathraf bin Abdillah berkata, "Malik bin Anas mempunyai perawakan tinggi,
ukuran kepalanya besar dan botak, rambut kepala dan jenggotnya putih, sedang
kulitnya sangat putih hingga kelihatan agak pirang. Dari Isa bin Umar
Al-Madani, dia berkata, "Aku tidak pernah melihat ada orang yang mempunyai
kulit putih dan mempunyai wajah yang kemerah-merahan, sebagus yang dimiliki
Malik, dan aku tidak melihat pakaian yang lebih putih dari pakaian yang dikenakan
Malik.Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Aku tidak melihat ada
orang yang lebih mulia dari Malik, dan aku tidak melihat ada orang yang lebih
sempurna akal dan ketakwaannya dari Malik.[6]
Imam Malik menikah
dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan
Yahya) dan seorang anak perempuan, Fatimah (yang mendapat julukan Umm
al-Mu'minin). Menurut Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya
yang dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta'. Menurut
Munawar Khalil, Imam Malik sesudah berputra beberapa orang, yang dari antaranya
ada yang dinamakan Abdullah, maka beliau lalu terkenal dengan sebutan Abu
Abdillah. Kemudian setelah beliau menjadi seorang alim besar dan terkenal
dimana-dimana; juga setelah ijtihad beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui
dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka hasil ijtihad beliau dikenal
dengan sebutan mazhab Maliki.[7] Setelah menjadi ulama
besar, Imam Malik mempunyai dua tempat pengajian yaitu masjid dan rumahnya
sendiri. Beliau sering menyampaikan hadis dan masalah-masalah fiqh. Dalam
mengajar, Imam Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa.
Oleh karena itu, untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau belum
yakin betul akan kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri (saya
tidak tahu).[8]
Imam Malik terdidik di kota Madinah, tempat berkumpulnya para sahabat, tabi'in,
cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik di tengah-tengah
mereka sebagai seorang anak yang cerdas, cepat menerima pelajaran, kuat dalam
berfikir, setia dan teliti.
Dari kecil beliau
membaca al-Qur'an dengan lancar dan mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau
belajar kepada para ulama dan fuqaha di kota Madinah, menghimpun pengetahuan
yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mengutip atsar-atsar
mereka, dan mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi orang
yang paling pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka sunnah serta
pemimpin ahli hukum agama di negeri Hijaz.[9]
Perlu diterangkan,
bahwa Malik, datuk beliau adalah termasuk pembesar tabi'in dan ulama
terkemuka. Semenjak kecil beliau seorang fakir karena bukan berasal dari
keturunan orang mampu. Sekalipun dalam keadaan demikian, beliau tetap sebagai
seorang pelajar yang setia dalam menuntut ilmu pengetahuan. Karena itu, setelah
beliau menjadi seorang alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang diberikan
kepadanya.[10]
B. Corak Kepemimpinan Imam
Malik
Kepemimpinan imam malik dalam pembahasan ini lebih memfokuskan ketika dalam mengambil suatu hukum.
Misalnya, ketika menggunakan metode istinbat. Imam Malik sendiri sebenarnya belum menulis dasar-dasar fiqhiyah
yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini,
murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan
dasar-dasar fiqhiyah Malik, kemudian menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah
itu kendati tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, punya kesinambungan
pemikiran yang sangat kuat dengan acuan pemikiran Imam Malik, paling tidak
beberapa isyarat dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa dan lebih-lebih dalam
kitabnya al-Muwaththa’. Dalam al-Muwaththa’, Imam Malik secara
jelas menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai
salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Sunnah, serta mengambil hadits
munqati’[11] dan mursal[12]
sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.[13]
Qadhi ‘Iyadh
mengungkapkan bahwa cara Imam Malik dalam mengambil hukum adalah senantiasa
mengutamakan ayat-ayat al-Qur’an dalam menyusun dalil-dalilnya yang jelas,
memulai dengan nasnya, kemudian zahirnya lalu mafhumnya. Setelah
itu barulah Imam Malik beralih kepada hadits, dengan mengutamakan hadits mutawatir[14],
lalu masyhur[15], dan barulah ia
menggunakan hadits ahad.[16]
Dengan cara yang tertib
sebagaimana ia mengambil hukum dari al-Qur’an. Setelah al-Qur’an dan hadits,
Imam Malik berpindah kepada Ijma’. Apabila dalam sumber-sumber pokok itu
tidak menjumpai pemecahannya, barulah beliau menempuh jalan qiyas yang
dijadikan sandaran untuk menyimpulkan suatu hukum.[17] Begitu pula al-Qurafi dalam
kitabnya Tanqih al-Ushul menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Malik
adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas,
qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sad adz-dzara’i, istihsan dan
istishab.[18] Namun secara
jelas, akan penulis gambarkan metode istinbath hukumImam Malik dalam
menetapkan hukum Islam, dimana beliau berpegang kepada:
1. Al-Qur’an
Imam
Malik meletakkannya di atas segala dalil, didahulukan dari pada sunnah karena
al-Qur’an merupakan sumber syari’at sampai hari kiamat.
2. Sunnah
Sunnah
menempati urutan kedua
setelah al-Qur’an. Manhaj Imam Malik dalam meng-istinbath hukum
dari sunnah adalah mengambil hadits
mutawatir, hadits masyhur di zaman tabi’in atau tabi’u at-tabi’in, dan beliau tidak mengambil setelah zaman itu, menggunakan khabar ahad walaupun beliau lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah.
mutawatir, hadits masyhur di zaman tabi’in atau tabi’u at-tabi’in, dan beliau tidak mengambil setelah zaman itu, menggunakan khabar ahad walaupun beliau lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah.
3. Ijma’ Ahl al-Madinah
Imam
Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah (Amal Ahl al-Madinah),
apabila hukum suatu masalah tidak dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an dan Sunnah.
Madinah adalah negeri tempat Rasulullah Saw berhijrah dari Mekkah, di situ
beliau lama berdomisili menyampaikan ajaran agama kepada para sahabat. Para
sahabat yang tinggal di negeri tersebut bergaul lama dengan Rasulullah Saw dan
banyak mengetahui latar belakang turunnya ayat, dan mereka adalah anak didik
langsung Rasulullah Saw. Praktek-praktek keagamaan para sahabat, menurut Imam
Malik tidak lain adalah praktek-praktek yang diwarisi dari Rasulullah Saw, dan
seterusnya praktek-praktek keagamaan itu secara murni diwarisi pula oleh
generasi sesudahnya dan seterusnya sampai kepada Imam Malik. Dengan demikian,
praktek penduduk Madinah yang disepakati atau praktek mayoritas penduduk
Madinah dianggap sebagai kristalisasi dari ajaran Rasulullah Saw sehingga harus
dijadikan sumber hukum. Di kalangan Mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih
diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma ahl al-Madinah merupakan
pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan
perorangan. Ijma ahl al-Madinah ini ada beberapa tingkatan:[19]
a. Kesepakatan ahl al-Madinah yang asalnya an-naql, yakni
hasil dari mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah.
b. Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan.
Ijma
ahl al-Madinah yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi
mazhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl al-Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw.
ahl al-Madinah yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi
mazhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl al-Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw.
c. Amalan ahl al-madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih
atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, apabila dua dalil yang
satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu kedua
dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahl al-Madinah, maka dalil yang
diperkuat oleh amalan ahl al-Madinah itulah yang dijadikan hujjah menurut
mazhab Maliki.
mazhab Maliki.
d. Amalan ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang
menyaksikan amalan Nabi Saw, amalanahl al-Madinah seperti ini bukan hujjah,
baik menurut asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, maupun menurut para
ulama di kalangan mazhab Maliki. d. Fatwa Sahabat Imam Malik mengambil
fatwa sahabat karena fatwa sahabat adalah hadits yang harus diamalkan jika
memang benar periwayatannya, terutama dari para Khulafa ar-Rasyidin jika
memang tidak ada nash dalam masalah tersebut. Yang dimaksud sahabat di
sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu
didasarkan pada an-naql. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut
tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah
Saw.
4. Khabar ahad
Imam Malik tidak
mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasullah, jika khabar
ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah, sekalipun hanya dari hasil
isitinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang
qath’i.
isitinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang
qath’i.
5. Qiyas
Imam Malik menggunakan qiyas
dengan maknanya menurut istilah, yaitu menggabungkan hukum satu masalah
yang tidak ada nash-nya dengan masalah yang sudah ada nash-nya
karena ada persamaan dalam aspek illatnya. Contohnya, dalam al-Qur’an
dan hadits tidak pernah disebutkan haramnya nabiz dan minuman keras
lainnya selain khamar seperti alkohol dan lainnya, maka Imam Malik dan
jumhur ulama menetapkan haramnya itu dengan mengqiyaskannya kepada khamar
yang ditetapkan keharamannya dalam firman Allah pada surat al-Maidah ayat
90, yang artinya, ”sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan, maka jauhilah...”.
6. Al-Istihsan
Istihsan yaitu menguatkan hukum satu kemaslahatan yang merupakan cabang
dari sebuah qiyas, menurut mazhab Maliki, al-istihsan
adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam
dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal
mursal daripada qiyas, sebab menggunakan
istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Contohnya adalah Allah melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewamenyewa, muzara’ah, dan lain sebagainya. Semua contoh itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsan-nya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Contohnya adalah Allah melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewamenyewa, muzara’ah, dan lain sebagainya. Semua contoh itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsan-nya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
7. Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-Maslahah al-Mursalah
yaitu merupakan kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menolak
atau membenarkannya, dengan demikian maka almaslahah al-mursalah itu
kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Contohnya adalah
fatwa Imam Malik tentang barang palsu yang ditemukan di tangan pemalsunya,
barang tersebut boleh diambil dengan paksa oleh penguasa dan disedekahkan
kepada fakir miskin sekalipun banyak jumlahnya.
Imam Syatibi
menjelaskan bahwa dalam hal tersebut Imam Malik meniru perbuatan Umar bin
Khattab yang pernah menumpahkan susu palsu yang dicampur dengan bahan lain oleh
penjualnya.[20]
Para ulama yang berpegang kepada al-maslahah al-mursalah sebagai dasar
hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut: 1) Maslahah
itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang
seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. 2) Maslahah itu
harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah
yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Artinya maslahah tersebut
harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang. 3) Maslahah itu
harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan nash dan ijma’. i. Sadd
az-Zara’i Imam Malik menggunakan Sadd al-Zara’i sebagai landasan
dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan
atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang maka hukumnya haram
atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal
pula hukumnya. Contohnya, menurut Imam Malik seorang isteri yang ditalak ba’in
ketika suaminya sakit keras tetap mendapat harta warisan dari suami yang
menceraikannya, meskipun suami itu baru wafat setelah habis masa iddahnya.
Alasannya, tindakan suami menceraikan isterinya waktu sakit keras patut diduga
untuk menghindar dari aturan waris. j. Istishab Imam Malik menjadikan istishab
sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah, tetapnya
suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan
atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Misalnya, seorang yang
telah yakin berwudhu dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja menyelesaikan
shalat subuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah
batal atau belum wudhunya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah
belum batal wudhunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu dan
dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan shalat apapun, bahwa ia baru hendak
mengerjakan shalat, kemudian datang keraguan tentang sudah berwudhu atau belum,
maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa ia belum berwudhu.
8. Syar’u man Qablana
Syaru’un lana Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan
kaidah Syar’u man Qablana Syaru’un lana sebagai dasar hukum. Menurut
Abdul Wahab, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan suatu
hukum yang pernah diberitakan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang
diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula dalam
al-Qur’an atau as-Sunnah, maka hukumhukum tersebut berlaku pula buat
kita, begitu juga sebaliknya.
Dari keterangan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode dan dasar-dasar kajian fiqh Malik
sepenuhnya mengambil kerangka acuan dari fakultas ahlu al-hadits yang
muncul di Hijaz. Penggunaan qiyas, misalnya jarang sekali dilakukan,
bahkan ada riwayat yang menyebut bahwa Imam Malik mendahulukan “perbuatan
orang-orang Madinah” dari pada penggunaan qiyas. Sampai sejauh ini, Imam
Malik tidak berani menggunakan rasio secara bebas, Ibnu Qasim, salah seorang
muridnya yang sering melakukan dialog dengannya mengatakan bahwa Imam Malik
mengaku, dalam masa lebih dari sepuluh tahun ini, untuk menjawab suatu masalah
ia tidak pernah mendahulukan rasio. Keteguhan Imam Malik dalam memegangi
al-Qur’an dan hadits sedemikian rupa, sehingga tidak berani memutuskan halal
atau haramnya sesuatu tanpa ada nash yang jelas.[21]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Imam Malik memiliki
nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin
Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah
Al-Madani dan merupakan imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari
Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin
Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah.
Kepemimpinan imam malik
ini penulis lebih mengedepankan kepemimpinan beliau dalam mengambi suatu hukum
dalam islam yang berdasarkan pada Al qur’an, as sunnah,
ijma ahl madinah, maslahah mursalah, kabar ahad, qiyas, al istihsan, Syar’u man Qablana.
B.
Kritik dan Saran
Alhamdulillah puji syukur kami hanturkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada kami sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini, saya menyadari makalah ini banyak kesalahan
dan kekurangan hal ini disebabkan karena keterbatasan pengalaman dan
pengetahuan yang saya miliki, oleh karena itu saya mengharap kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari seluruh pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Dan
akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini bermanfaat bagi saya dan pembaca
umumnya, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sayis, Muhammad Ali, Nash-ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa
Arwaruhu, tt: Majmu’ al Buhus al-Islamiyah, 1970
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997
Dahlan, Abdul Aziz, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000
Hoeve, 2000
Dilaga, M. Alfatih Surya (ed), Studi Kitab Hadis,
Yogyakarta: Teras, 2003
Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2005
Jakarta: Prenada Media, 2005
Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi
Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka
Al-kautsar, 2006
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah
Pustaka Firdaus,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Munawar Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali), Jakarta:Bulan Bintang, 1977
Yanggo, Huzaiman Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta:
Logos, 1997
Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the
Muwatta', and 'Amal, Terj. M.Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an,
Muwatta', dan Praktik Madinah", Yogyakarta: Islamika, 2003
Yuslem, A. Nawir, Ulum al-Hadits, Jakarta: PT. Mutiara
Sumber
Widya, 2001
Widya, 2001
Zaid, Farouq Abdul, Hukum Islam Antara Tradisional dan Modern, Terjemahan,
Husain Muhammad, Jakarta : P3M, 1986
[1] M.
Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2003), h., 2
[2] TM.
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997), h., 461
Pustaka Rizki Putra, 1997), h., 461
[3] Syaikh
Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman,
"60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), h., 260
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), h., 260
[4] Yasin
Dutton, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal,
Terj. M.
Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", (Yogyakarta:
Islamika, 2003), h., 165
Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", (Yogyakarta:
Islamika, 2003), h., 165
[5] Jamil
Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h., 104
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h., 104
[6] Syaikh
Ahmad Farid, Loc.Cit
[7] Munawar
Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali),
(Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), h., 80
Bulan Bintang, 1977), h., 80
[8] A.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), h., 128
(Jakarta: Prenada Media, 2005), h., 128
[9] Munawar
Khalil, Loc. Cit.
[10] Ibid., h., 80
[11] Hadits
Munqati’ yaitu hadits yang terputus sanadnya di bagian mana saja,
baik di awal,
di akhir atau pertengahannya. (Lihat Nawir Yuslem, Ulum al-Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001, h. 249).
di akhir atau pertengahannya. (Lihat Nawir Yuslem, Ulum al-Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001, h. 249).
[12] Hadits
Mursal yaitu hadits yang diangkatkan oleh tabi’in kepada Rasul
Saw dari
perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau, baik tabi’innya kecil atau besar. (Lihat Nawir Yuslem,
op. cit., h. 241)
perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau, baik tabi’innya kecil atau besar. (Lihat Nawir Yuslem,
op. cit., h. 241)
[13] Muhammad
Abu Zahrah, Malik Hayatuhu wa Asruhu wa Ara-uhu wa fiqhuhu, (Mesir :
Dar al-fikr al-‘Arabi, 1952), Cet. ke-2,hlm. 215
Dar al-fikr al-‘Arabi, 1952), Cet. ke-2,hlm. 215
[14] Hadits
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
mustahil
secara adat mereka akan sepakat untuk melakukan berdusta, (yang diterimanya) dari sejumlah
perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak
rusak (kurang) jumlah perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad. (Lihat Nawir Yuslem, op.
cit., h. 202-203).
secara adat mereka akan sepakat untuk melakukan berdusta, (yang diterimanya) dari sejumlah
perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak
rusak (kurang) jumlah perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad. (Lihat Nawir Yuslem, op.
cit., h. 202-203).
[15]
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada
setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.(Lihat Nawir Yuslem, op.
cit., h. 209).
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada
setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.(Lihat Nawir Yuslem, op.
cit., h. 209).
[16] Hadits
Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau
lebih
selama tidak memenuhi syarat-syarat hadits Mutawatir atau hadits Masyhur.(Lihat Nawir Yuslem,
op. cit., h. 208)
selama tidak memenuhi syarat-syarat hadits Mutawatir atau hadits Masyhur.(Lihat Nawir Yuslem,
op. cit., h. 208)
[17] Muhammad
Ali al-Sayis, Nash-ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Arwaruhu, (tt: Majmu’ al
Buhus al-Islamiyah, 1970), h. 96.
Buhus al-Islamiyah, 1970), h. 96.
[18] MuhammadAbu
Zahrah, op.cit., h. 218
[19] Huzaiman
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), h.107
[20] Abdul
Aziz Dahlan, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000), h. 1096.
Hoeve, 2000), h. 1096.
[21] Farouq
Abd Zaid, Hukum Islam Antara Tradisional dan Modern, Terjemahan, Husain
Muhammad, (Jakarta : P3M, 1986), Cet. ke-I, h. 23
Muhammad, (Jakarta : P3M, 1986), Cet. ke-I, h. 23