Saturday, March 3, 2018

makalah Kepemimpinan Pendidikan Islam_ CORAK KEPEMIMPINAN IMAM MALIK


CORAK KEPEMIMPINAN IMAM MALIK
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Kepemimpinan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:
Dr. H. Munasir, MM




Description: logo UNISNU

Disusun Oleh :
Abdur Rouf               (162610000341)
Ahmad Rozin Faiz    (162610000344)
Agus Purnomo          (162610000343)

 

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
2018


 


KATA PENGANTAR
Puja-puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul CORAK KEPEMIMPINAN IMAM MALIK”
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang mengampu “Kepemimpinan Pendidikan Islam“ dan teman - teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan selesainya tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman- teman. Amin.







Jepara, 12 Januari 2018


PENULIS


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Latar Belakang
Imam Malik adalah tokoh empat besar Imam Mazhab yang dilahirkan di Madinah dan wafat di Madinah. Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali ketika menunaikan ibadah haji. Selain memiliki kemampuan dalam menghafal al-Qur’an dan Hadits, Imam Malik bin Anas terkenal berani dalam menyampaikan fatwa atau pendapatnya. Dia hidup pada pemerintahan Umawiyah dan Abasiyah. Pada periode tersebut terdapat tiga aliran Islam, yaitu Khawarij, Syiah, dan Jumhur. Tiga kelompok ini berpegang teguh, merasa bangga kepada pendapat masing-masing, dan berusaha mempertahankannya. Hal ini juga mendorong Imam Malik untuk tetap sebagai ahlul hadits dalam berijtihad.
Selain itu, Imam Malik bin Anas terkenal sebagai ahli hadits dalam pengambilan hukum. Hal ini menjadi ciri khusus pola pemikiran pengambilan hukum Imam Malik. Hal itu karena terkait dengan keadaan lingkungan di Madinah yang merupakan tempat dimana Rasulullah hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan sederhana. Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu Hadits namun dirinya juga tetap dipengaruhi penggunaan rasio dalam berijtihad. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan dalil dari amalan ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah), fatwa sahabat, qiyas, al-maşlahah mursalah, Aż-żari’ah, al-‘urf (adat istiadat) dalam pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga seperti mazhab lain dengan al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam.
Hal ini tentu saja karena adanya pengaruh kompleksitas permasalahanpermasalahan tertentu yang tidak bisa ditemukan secara tekstual dalam kedua sumber utama hukum Islam. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya karena dipengaruhi perkembangan dan perubahan-perubahan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat itu.


B.  Rumusan  Masalah
1.      Bagaimana Biografi Kehidupan Imam Malik?
2.      Bagaimana Corak Kepemimpinan Imam Malik ?

C.  Tujuan Masalah
1.    Untuk Mengetahui Biografi Imam Malik.
2.    Untuk Mengetahui Corak Kepemimpinan Imam Malik.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Kehidupan Imam Malik
Imam Malik memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan merupakan imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi'in yang sangat minim sekali informasinya. Buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah.[1] Kakek Malik, Abu Umar, datang ke Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya kakek Malik ini tidak termasuk golongan sahabat, tetapi masuk golongan tabi’in.[2]
Tentang tahun kelahirannya, Adz-Dzahabi berkata, "Menurut pendapat yang lebih shahih Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah, yaitu pada tahun dimana Anas, pembantu Rasulullah, meninggal.[3] Para ahli tarikh berbeda pendapat, Yasin Dutton menyatakan kemungkinan pada 93 H/711 M.[4] Ibnu khalikan menyebut 95 H, ada pula yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada pula yang menyatakan 97 H. Tetapi mayoritas ulama cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal tahun 179 H. Jadi Imam Malik 13 tahun lebih muda dari rekannya yang termasyhur, Imam Abu Hanifah.[5] Mengenai sifat-sifatnya Mathraf bin Abdillah berkata, "Malik bin Anas mempunyai perawakan tinggi, ukuran kepalanya besar dan botak, rambut kepala dan jenggotnya putih, sedang kulitnya sangat putih hingga kelihatan agak pirang. Dari Isa bin Umar Al-Madani, dia berkata, "Aku tidak pernah melihat ada orang yang mempunyai kulit putih dan mempunyai wajah yang kemerah-merahan, sebagus yang dimiliki Malik, dan aku tidak melihat pakaian yang lebih putih dari pakaian yang dikenakan Malik.Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Aku tidak melihat ada orang yang lebih mulia dari Malik, dan aku tidak melihat ada orang yang lebih sempurna akal dan ketakwaannya dari Malik.[6]
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan seorang anak perempuan, Fatimah (yang mendapat julukan Umm al-Mu'minin). Menurut Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta'. Menurut Munawar Khalil, Imam Malik sesudah berputra beberapa orang, yang dari antaranya ada yang dinamakan Abdullah, maka beliau lalu terkenal dengan sebutan Abu Abdillah. Kemudian setelah beliau menjadi seorang alim besar dan terkenal dimana-dimana; juga setelah ijtihad beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka hasil ijtihad beliau dikenal dengan sebutan mazhab Maliki.[7] Setelah menjadi ulama besar, Imam Malik mempunyai dua tempat pengajian yaitu masjid dan rumahnya sendiri. Beliau sering menyampaikan hadis dan masalah-masalah fiqh. Dalam mengajar, Imam Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa. Oleh karena itu, untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau belum yakin betul akan kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri (saya tidak tahu).[8] Imam Malik terdidik di kota Madinah, tempat berkumpulnya para sahabat, tabi'in, cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik di tengah-tengah mereka sebagai seorang anak yang cerdas, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir, setia dan teliti.
Dari kecil beliau membaca al-Qur'an dengan lancar dan mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan fuqaha di kota Madinah, menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mengutip atsar-atsar mereka, dan mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi orang yang paling pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka sunnah serta pemimpin ahli hukum agama di negeri Hijaz.[9]
Perlu diterangkan, bahwa Malik, datuk beliau adalah termasuk pembesar tabi'in dan ulama terkemuka. Semenjak kecil beliau seorang fakir karena bukan berasal dari keturunan orang mampu. Sekalipun dalam keadaan demikian, beliau tetap sebagai seorang pelajar yang setia dalam menuntut ilmu pengetahuan. Karena itu, setelah beliau menjadi seorang alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang diberikan kepadanya.[10]

B.  Corak Kepemimpinan Imam Malik
Kepemimpinan imam malik dalam pembahasan ini lebih memfokuskan ketika dalam mengambil suatu hukum. Misalnya, ketika menggunakan metode istinbat. Imam Malik sendiri sebenarnya belum menulis dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Malik, kemudian menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendati tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, punya kesinambungan pemikiran yang sangat kuat dengan acuan pemikiran Imam Malik, paling tidak beberapa isyarat dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa dan lebih-lebih dalam kitabnya al-Muwaththa’. Dalam al-Muwaththa’, Imam Malik secara jelas menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan al-Sunnah, serta mengambil hadits munqati’[11] dan mursal[12] sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.[13]
Qadhi ‘Iyadh mengungkapkan bahwa cara Imam Malik dalam mengambil hukum adalah senantiasa mengutamakan ayat-ayat al-Qur’an dalam menyusun dalil-dalilnya yang jelas, memulai dengan nasnya, kemudian zahirnya lalu mafhumnya. Setelah itu barulah Imam Malik beralih kepada hadits, dengan mengutamakan hadits mutawatir[14], lalu masyhur[15], dan barulah ia menggunakan hadits ahad.[16]
Dengan cara yang tertib sebagaimana ia mengambil hukum dari al-Qur’an. Setelah al-Qur’an dan hadits, Imam Malik berpindah kepada Ijma’. Apabila dalam sumber-sumber pokok itu tidak menjumpai pemecahannya, barulah beliau menempuh jalan qiyas yang dijadikan sandaran untuk menyimpulkan suatu hukum.[17] Begitu pula al-Qurafi dalam kitabnya Tanqih al-Ushul menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Malik adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sad adz-dzara’i, istihsan dan istishab.[18] Namun secara jelas, akan penulis gambarkan metode istinbath hukumImam Malik dalam menetapkan hukum Islam, dimana beliau berpegang kepada:
1.    Al-Qur’an
Imam Malik meletakkannya di atas segala dalil, didahulukan dari pada sunnah karena al-Qur’an merupakan sumber syari’at sampai hari kiamat.
2.    Sunnah
Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Manhaj Imam Malik dalam meng-istinbath hukum dari sunnah adalah mengambil hadits
mutawatir, hadits masyhur di zaman tabi’in atau tabi’u at-tabi’in, dan beliau tidak mengambil setelah zaman itu, menggunakan khabar ahad walaupun beliau lebih mendahulukan amalan penduduk Madinah.
3.    Ijma’ Ahl al-Madinah
Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah (Amal Ahl al-Madinah), apabila hukum suatu masalah tidak dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an dan Sunnah. Madinah adalah negeri tempat Rasulullah Saw berhijrah dari Mekkah, di situ beliau lama berdomisili menyampaikan ajaran agama kepada para sahabat. Para sahabat yang tinggal di negeri tersebut bergaul lama dengan Rasulullah Saw dan banyak mengetahui latar belakang turunnya ayat, dan mereka adalah anak didik langsung Rasulullah Saw. Praktek-praktek keagamaan para sahabat, menurut Imam Malik tidak lain adalah praktek-praktek yang diwarisi dari Rasulullah Saw, dan seterusnya praktek-praktek keagamaan itu secara murni diwarisi pula oleh generasi sesudahnya dan seterusnya sampai kepada Imam Malik. Dengan demikian, praktek penduduk Madinah yang disepakati atau praktek mayoritas penduduk Madinah dianggap sebagai kristalisasi dari ajaran Rasulullah Saw sehingga harus dijadikan sumber hukum. Di kalangan Mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan. Ijma ahl al-Madinah ini ada beberapa tingkatan:[19]
a.    Kesepakatan ahl al-Madinah yang asalnya an-naql, yakni hasil dari mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah.
b.    Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijma
ahl al-Madinah yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi
mazhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan ahl al-Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw.
c.    Amalan ahl al-madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya, apabila dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu kedua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahl al-Madinah, maka dalil yang diperkuat oleh amalan ahl al-Madinah itulah yang dijadikan hujjah menurut
mazhab Maliki.
d.   Amalan ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi Saw, amalanahl al-Madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki. d. Fatwa Sahabat Imam Malik mengambil fatwa sahabat karena fatwa sahabat adalah hadits yang harus diamalkan jika memang benar periwayatannya, terutama dari para Khulafa ar-Rasyidin jika memang tidak ada nash dalam masalah tersebut. Yang dimaksud sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw.
4.    Khabar ahad
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil
isitinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil yang
qath’i.
5.    Qiyas
Imam Malik menggunakan qiyas dengan maknanya menurut istilah, yaitu menggabungkan hukum satu masalah yang tidak ada nash-nya dengan masalah yang sudah ada nash-nya karena ada persamaan dalam aspek illatnya. Contohnya, dalam al-Qur’an dan hadits tidak pernah disebutkan haramnya nabiz dan minuman keras lainnya selain khamar seperti alkohol dan lainnya, maka Imam Malik dan jumhur ulama menetapkan haramnya itu dengan mengqiyaskannya kepada khamar yang ditetapkan keharamannya dalam firman Allah pada surat al-Maidah ayat 90, yang artinya, ”sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah...”.
6.    Al-Istihsan
Istihsan yaitu menguatkan hukum satu kemaslahatan yang merupakan cabang dari sebuah qiyas, menurut mazhab Maliki, al-istihsan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal mursal daripada qiyas, sebab menggunakan
istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Contohnya adalah Allah melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada dan mengadakan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan pada salam (pemesanan), sewamenyewa, muzara’ah, dan lain sebagainya. Semua contoh itu adalah akad, sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsan-nya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
7.    Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-Maslahah al-Mursalah yaitu merupakan kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menolak atau membenarkannya, dengan demikian maka almaslahah al-mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Contohnya adalah fatwa Imam Malik tentang barang palsu yang ditemukan di tangan pemalsunya, barang tersebut boleh diambil dengan paksa oleh penguasa dan disedekahkan kepada fakir miskin sekalipun banyak jumlahnya.
Imam Syatibi menjelaskan bahwa dalam hal tersebut Imam Malik meniru perbuatan Umar bin Khattab yang pernah menumpahkan susu palsu yang dicampur dengan bahan lain oleh penjualnya.[20] Para ulama yang berpegang kepada al-maslahah al-mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut: 1) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. 2) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Artinya maslahah tersebut harus merupakan maslahah bagi kebanyakan orang. 3) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash dan ijma’. i. Sadd az-Zara’i Imam Malik menggunakan Sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang maka hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya. Contohnya, menurut Imam Malik seorang isteri yang ditalak ba’in ketika suaminya sakit keras tetap mendapat harta warisan dari suami yang menceraikannya, meskipun suami itu baru wafat setelah habis masa iddahnya. Alasannya, tindakan suami menceraikan isterinya waktu sakit keras patut diduga untuk menghindar dari aturan waris. j. Istishab Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah, tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Misalnya, seorang yang telah yakin berwudhu dan dikuatkan lagi, bahwa ia baru saja menyelesaikan shalat subuh, kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah batal atau belum wudhunya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah belum batal wudhunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudhu dan dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan shalat apapun, bahwa ia baru hendak mengerjakan shalat, kemudian datang keraguan tentang sudah berwudhu atau belum, maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa ia belum berwudhu.
8.    Syar’u man Qablana
Syaru’un lana Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah Syar’u man Qablana Syaru’un lana sebagai dasar hukum. Menurut Abdul Wahab, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberitakan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula dalam al-Qur’an atau as-Sunnah, maka hukumhukum tersebut berlaku pula buat kita, begitu juga sebaliknya.
Dari keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode dan dasar-dasar kajian fiqh Malik sepenuhnya mengambil kerangka acuan dari fakultas ahlu al-hadits yang muncul di Hijaz. Penggunaan qiyas, misalnya jarang sekali dilakukan, bahkan ada riwayat yang menyebut bahwa Imam Malik mendahulukan “perbuatan orang-orang Madinah” dari pada penggunaan qiyas. Sampai sejauh ini, Imam Malik tidak berani menggunakan rasio secara bebas, Ibnu Qasim, salah seorang muridnya yang sering melakukan dialog dengannya mengatakan bahwa Imam Malik mengaku, dalam masa lebih dari sepuluh tahun ini, untuk menjawab suatu masalah ia tidak pernah mendahulukan rasio. Keteguhan Imam Malik dalam memegangi al-Qur’an dan hadits sedemikian rupa, sehingga tidak berani memutuskan halal atau haramnya sesuatu tanpa ada nash yang jelas.[21]







BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Imam Malik memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan merupakan imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah.
Kepemimpinan imam malik ini penulis lebih mengedepankan kepemimpinan beliau dalam mengambi suatu hukum dalam islam yang berdasarkan pada Al qur’an, as sunnah, ijma ahl madinah,  maslahah mursalah, kabar ahad, qiyas, al istihsan, Syar’u man Qablana.

B.  Kritik dan Saran
Alhamdulillah puji syukur kami hanturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada kami sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini, saya menyadari makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan hal ini disebabkan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, oleh karena itu saya mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari seluruh pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Dan akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini bermanfaat bagi saya dan pembaca umumnya, amin.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Sayis, Muhammad Ali, Nash-ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Arwaruhu, tt: Majmu’ al Buhus al-Islamiyah, 1970

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997

Dahlan, Abdul Aziz, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000

Dilaga, M. Alfatih Surya (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003

Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2005

Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006

Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

Munawar Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta:Bulan Bintang, 1977

Yanggo, Huzaiman Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997

Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M.Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", Yogyakarta: Islamika, 2003

Yuslem, A. Nawir, Ulum al-Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001

Zaid, Farouq Abdul, Hukum Islam Antara Tradisional dan Modern, Terjemahan, Husain Muhammad, Jakarta : P3M, 1986



[1] M. Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), h., 2
[2] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997), h., 461
[3] Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), h., 260
[4] Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M.
Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", (Yogyakarta:
Islamika, 2003), h., 165
[5] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h., 104
[6] Syaikh Ahmad Farid, Loc.Cit
[7] Munawar Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), h., 80
[8] A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), h., 128
[9] Munawar Khalil, Loc. Cit.
[10] Ibid., h., 80
[11] Hadits Munqati’ yaitu hadits yang terputus sanadnya di bagian mana saja, baik di awal,
di akhir atau pertengahannya. (Lihat Nawir Yuslem, Ulum al-Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001, h. 249).
[12] Hadits Mursal yaitu hadits yang diangkatkan oleh tabi’in kepada Rasul Saw dari
perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau, baik tabi’innya kecil atau besar. (Lihat Nawir Yuslem,
op. cit., h. 241)
[13] Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuhu wa Asruhu wa Ara-uhu wa fiqhuhu, (Mesir :
Dar al-fikr al-‘Arabi, 1952), Cet. ke-2,hlm. 215
[14] Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang mustahil
secara adat mereka akan sepakat untuk melakukan berdusta, (yang diterimanya) dari sejumlah
perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak
rusak (kurang) jumlah perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad. (Lihat Nawir Yuslem, op.
cit., h. 202-203).
[15]
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada
setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.(Lihat Nawir Yuslem, op.
cit., h. 209).
[16] Hadits Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih
selama tidak memenuhi syarat-syarat hadits Mutawatir atau hadits Masyhur.(Lihat Nawir Yuslem,
op. cit., h. 208)
[17] Muhammad Ali al-Sayis, Nash-ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Arwaruhu, (tt: Majmu’ al
Buhus al-Islamiyah, 1970), h. 96.
[18] MuhammadAbu Zahrah, op.cit., h. 218
[19] Huzaiman Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), h.107
[20] Abdul Aziz Dahlan, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2000), h. 1096.
[21] Farouq Abd Zaid, Hukum Islam Antara Tradisional dan Modern, Terjemahan, Husain
Muhammad, (Jakarta : P3M, 1986), Cet. ke-I, h. 23

Jina wajina lirik

 Jina wajina