1. Pengertian Tahammul Wa Ada’ul-Hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu[1].
Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara
para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum
baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga
berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al Karmani[2]-pada
boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur
baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ul al-Hadist
Ada‘ secara
etimologis berarti sampai/melaksanakan.
secara
terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan)
hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya
adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses
mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.[3]
Sifat adil
ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang
dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu
mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya
2. Syarat-syarat Tahammul Hadits.
Adapun
syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang
lain adalah:
a. Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat
atau memiliki dokumen yang valid).
b. Berakal sempurna.
c. Tamyiz.
Ulama’
hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan
minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih
berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau
berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa
ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima
hadist, mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat
hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak
sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang
dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang
menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu
Abbas dll[4],
tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang
setelahnya.
Hal senada juga
diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits,
bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga
sah. Namun hadits
yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’)
setelah masuk Islam[5].
Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus
adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri
orang tersebut sekalipun belum baliqh[6].
3. Syarat-syarat Ada’ul-Hadits.
Mayoritas ulama
hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit),
serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan
tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan
periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat
dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif,
atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah
seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
a. Islam,
b. balig,
c. berakal,
Sedangkan
kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti diungkapkan al
Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun
bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup
kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak
kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang
ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
Sigaht Tahammul Wa Ada’ al-Hadist dan Implikasinya Terhadap-Persambungan
Sanad
4. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan
Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.
Metode
penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu
:
a. Simak (mendengar).
Yaitu
mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan
tahdits (narasi atau memberi informasi)[8].
Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling
tinggi.
Ketika
seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya,
maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak
sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits
periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara
pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun
demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang
berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan
hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat
diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. al Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah
sendiri memaparkan yang juga disebut al Ard memiliki dua bentuk. Pertama,
seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau
yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang
lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi
mendengarkan.
Dalam
situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal
hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada
catatannya atau sebuah kitab yang kredibel[9].
Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka
sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang
tidak benar.
Terkait
dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang
terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag
berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits
adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan
cara ini masuk dalam sanad yang muttasil[10].
c. Ijazah
Salah satu
bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin
kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam
catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah
dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun
bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak
sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam
polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat
masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah
pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu
dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran
praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar
berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi Dengan
demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak
dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan
seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan
dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith
al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan
tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi
beberapa macam,
- Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku
dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
- Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru
mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah,
kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
- Seorang murid membawakan hadits yang kemudian
diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku,
riwayatkanlah ia dari ku”[11].
Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang
memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang
aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis).
Yang
dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits
-baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada
orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat
lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu
disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur
menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga
menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita
menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah
tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau
hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai
dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila
seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah
saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas
ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu
metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian
sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan
salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena
tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu
Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
Wasiat
adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul
maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang
diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang
diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan
pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada
muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun
mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini
termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki
kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits
dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti
redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat,
serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang
tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak
memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak
disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi
menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode
namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar
langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas
dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para
kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin
meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan
mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah
dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode
hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari
beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil
kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits,
maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits
tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits.
Sebagaimana berikut:
1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka
bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut
al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا,
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah,
maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا
سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka
bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang
digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان
ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan),
maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة
وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka
redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام,
أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat,
maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية,
حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah(
penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan
kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Daftar Pustaka
[2] Badruddin Abu Muhammad al Aini, Umdah
al Qarii Syarhu Shahih Bukhari, vol 2, , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah,
2001.
[6] Syamsudin Moch Abdurrahman al
Sakhawi, Fathul Mugits Syarhu Alfiyatul Hadits, vol 1, Beirut : Dar al Kutub
al Ilmiah, 2001.
[7] Al Shiddik Basyir Nashr, Dlawabith
al Riwayah ‘Inda al Muhadditsin, 1992, t.t. : Thorobulus, Hal-116.
[8] Dr. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq
Wa al Tadl’if Baina al Muhadditsin Wa al Du’aat, 1993, Maktabah Alfu Fa’.
[9] Moch Jamaluddin al Qasimi, Qawaid
al Tahdits Min Fununi Musthalah al Hadits, t.t., Beirut : Dar al Kutub al
Ilmiah.
[10] Subhi
Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilm Li
Al-Malayin)cet. XXI.
[12] Muhammad ‘Ujjaj
al-Khathib, 1989, Ushul Al-Hadits Ulmuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
Al-Fikr).
No comments:
Post a Comment