Monday, December 21, 2015

URGENSI AKHLAK DALAM MEMBENTUK GENERASI KHAIRA UMMAH

URGENSI AKHLAK DALAM MEMBENTUK GENERASI KHAIRA UMMAH
Guna memenuhi tugas mata kuliah Agama 4 (Akhlaq) Semester 3.A3
Dosen Pengampuh : Dr. H. Subaidi, M.Pd
Description: F:\Tugas Smt 5\LOGO UNISNU.jpg
Disusun Oleh:
Abdur Rouf                           (131310000713)
Muhammad Adi Saputro     (141320000143)
Lian Afiftyanto                     (141320000173)

 

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
JEPARA




KATA PENGANTAR
Puja-puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Urgensi Akhlak dalam Membentuk Generasi Khaira Ummah .”
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang mengampu “Agama 4 (Akhlaq)“ dan teman – teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman- teman. Amin.







Jepara, 21 Desember 2015
Penulis

Kelompok 12


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Generasi Muda adalah kelompok besar di tengah satu bangsa semestinya dibentuk menjadi “generasi unggul“ (khaira ummah) yang akan memikul amanah peran pelopor perubahan (agent of changes) berbekal keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT selalu melaksanakan misi amar makruf nahyun anil munkar.
Dalam membentuk generasi yang khaira ummah yakni sama seperti membina sebuah bangunan. Kalau dalam pembinaan bangunan, asasnya disiapkan terlebih dahulu, begitu juga dengan membentuk generasi yang khaira ummah mesti di mulai dengan pembinaan asasnya terlebih dahulu. Jika kukuh asas yang dibina maka tegaklah masyarakat itu. Jika lemah maka robohlah apa-apa yang telah dibina diatasnya.
                                                 
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud Akhlak ?
2.    Apa tujuan akhlak ?
3.    Bagaimana urgensi akhlak dalam membentuk generasi khoiru ummah ?

C.      Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian akhlak.
2.      Untuk mengetahui tujuan akhlak.
3.      Untuk mengetahui urgensi akhlak dalam membentuk generasi khoiru ummah.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Akhlak
Secara bahasa bentuk jamak dari akhlak adalah khuluq, yang memiliki arti tingkah laku, perangai dan tabiat. Secara istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi.[1]
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa jiwa yang mendorong kepada tindakan-tndakan tanpa melalui  pertimbangan pemikiran.[2]
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3]

B.       Tujuan Akhlak
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya At-Tarbiyah Al Kholqiyah mengemukakan bahwa tujuan utama akhlak dalam Islam adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan Allah yang mana akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.[4] Selain itu, akhlak mempunyai tujuan lain diantaranya;[5]
1.         Membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik berhubungan dengan Allah, manusia dan makhluk lainnya.
2.         Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan.

C.      Urgensi Akhlak dalam Membentuk Generasi Khaira Ummah.
Kata Khaira berasal dari bahasa Arab yang artinya baik. Menurut Islam, hal yang mendorong seseorang berbuat baik adalah Iman kepada Allah dan mencegah kemungkaran. Sedangkan rintangan untuk berbuat baik adalah dunia dan isinya, manusia, syetan serta nafsu.[6]
Selain itu hal yang mencerminkan kebaikan ialah yang mengetahui kebenaran dan berpegang kepadanya serta mengikuti tuntunan keutamaan dan cinta kepada kemuliaan[7]. Dengan demikian kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan dengan berupaya sebaik-baiknya agar tercapainya kesempurnaan kita sebagai manusia.
Dalam bahasa Arab kata Ummah artinya masyarakat, sedangkan menurut istilah ummah adalah suatu kesatuan masyarakat yang agamawi dan mempunyai kepercayaan yang sama yaitu kepada Allah SWT.[8]
Selain itu, kata ummah dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat, sebuah komunitas atau sebuah bangsa, khususnya adalah kebangsaan Islam yang menembus perbatasan etnis atau politis, sekurangkurangnya dalam pengertian tradisional dan sebelum zaman modern, yakni sebelum datangnya nasionalisme model barat.[9]
Oleh karena itu ada dua syarat untuk menjadi umat terbaik ialah: Pertama, iman yang kuat, kedua, menegakkan amar ma'ruf dan mencegah kemungkaran. Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat itu jaya dan mulia dan apabila kedua hal itu diabaikan serta tidak dipedulikan lagi, maka tidak dapat disesalkan ummat itu akan terpecah belah selalu dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama serta jatuh ke lembah kemelaratan.
Untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan, bila nampak gejala-gejala perpecahan dan penyelewengan, tidak hanya demikian menganjurkan berbuat baik saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat buruk.
Dengan ada itu umat Islam akan terpelihara dari pada perpecahan dan campur tangan dari pihak manapun yang merugikan ummat Islam. Dengan demikian dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Khairah Ummah adalah suatu komunitas atau sebuah masyarakat yang dalam kehidupannya mencerminkan suatu perbuatan atau kehidupan yang baik dengan dilandasi oleh Iman kepada Allah. Oleh karena itu untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya proses pembentukan idealisasi karakter muslim lebih didasari suatu pandangan, bahwa jiwa manusia tidak dapat berkembang tanpa pendidikan, karena jiwa itu mempunyai kecenderungan alami untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk menyadari adanya unsur negatif pada jiwa yang berupa nafsu, maka jalan terbaik untuk melawan nafsu adalah pelatihan diri.
Proses pelatihan tersebut menjadi efektif, jika ada pembimbing yang dapat mengarahkan karakter dan mengoreksi berbagai kekeliruan yang dilakukan seorang anak. Orang tua dan para pengajar mengemban misi untuk mengarahkan karakter anak melalui proses pendidikan dan pengajaran. Melalui proses pendidikan itu seorang pendidik akan menanamkan rasa cinta dan ketertarikan seorang anak pada ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya merupakan symbol kemuliaan tertinggi bagi setiap orang. Oleh karena itu, eksistensi seorang pendidik menjadi semakin vital, ketika ilmu pengetahuan ternyata menjadi penggerak tercapainya karakter yang bermutu tinggi.
Mengenai pembahasan Khaira Ummah, hal itu tidak luput dari beberapa hal yang sangat berpengaruh yaitu akhlak. Dalam membangun generasi khaira ummah atau sebut saja umat yang baik, seseorang harus memberikan pengertian atau pengajaran serta hal yang menjadi pokok dasar atau pondasi dalam membina seseorang yaitu akhlak.
Umat terbaik atau khaira ummah sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al Imran :110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Khaira ummah berkaitan erat dengan karakter dan sebaik-baik karakter adalah karakter generasi para sahabat Rasulullah saw karena mereka belajar dan menimba ilmu langsung dari utusan Allah yang mulia, Muhammad Rasulullah saw.
Maka, khaira ummah dalam konteks kekinian adalah mereka yang mau berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Umat terbaik adalah mereka yang mau meneladani karakteristik generasi terbaik yaitu generasi pada sahabat dalam setiap gerak kehidupan.
Dalam The Best Life, Prof. Laode M. Kamaluddin & Ahmad Mujib El-Shirazy meramu 5 rumus dahsyat yang akan mampu melejitkan potensi generasi Islam agar menjadi generasi khaira ummah. Rumus-rumus itu antara lain 1) Agar menjadi umat terbaik maka kita harus meneladani generasi umat terbaik pula, 2) Membangun umat terbaik harus bermodal iman dan taqwa kepada Allah tanpa tawar, 3) Mengutamakan ilmu sebelum amal, 4) Menjadi umat terbaik dengan amal dan karya, dan 5) Membangun umat terbaik dengan berjamaah.[10] 




BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
Tujuan akhlak diantaranya membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik berhubungan dengan Allah, manusia dan makhluk lainnya, menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan.
Akhlak dalam membentuk generasi khoiru ummah yakni menanamkan  jiwa moral pada generasi masyarakat
Dalam meramu 5 rumus dahsyat yang akan mampu melejitkan potensi generasi Islam agar menjadi generasi khaira ummah. Rumus-rumus itu antara lain 1) Agar menjadi umat terbaik maka kita harus meneladani generasi umat terbaik pula, 2) Membangun umat terbaik harus bermodal iman dan taqwa kepada Allah tanpa tawar, 3) Mengutamakan ilmu sebelum amal, 4) Menjadi umat terbaik dengan amal dan karya, dan 5) Membangun umat terbaik dengan berjamaah.

B.       Kritik dan Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kekurangannya, untuk itu kami sangat mengharapkan masukan-masukan untuk menunjang perbaikan makalah ini untuk menuju kearah kesempurnaan. Semoga makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyunardi dkk. 2002.  Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam.

Zubaidi. 2015. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta: Lingkar Media.

Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta : Gema Insani

http://santoson111.blogspot.com diunduh pada 20 Desember 2015 pukul 11.36 WIB

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 131

AL Ghazali, Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana1986), hlm. 43


Soetopo, Djaka. 1991. Ummah (Komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al Qur'an). Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya

Jumantoro, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Amzah

Marlisherniafridah.blogspot.co.id diunduh pada 19 September 19.40 WIB




[1] Azyunardi Azra dkk,  Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum,  (Jakarta: Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, 2002), hlm. 203-204
[2] Zubaidi, Akhlak dan Tasawuf, (Yogyakarta: Lingkar Media, 2015), hlm. 2
[3] Ibid., hlm. 2
[4] Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 159
[5] http://santoson111.blogspot.com diunduh pada 20 Desember 2015 pukul 11.36 WIB
[6] Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 131
[7] Muhammad AL Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana1986), hlm. 43
[8] Djaka Soetopo, Ummah (Komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al Qur'an), (Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya, 1991), hlm. 18
[9] Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Amzah, 2005), hlm. 333
[10] Marlisherniafridah.blogspot.co.id diunduh pada 19 September 19.40 WIB

Proses Al-Ada’ Wa Tahammul Hadits


1. Pengertian Tahammul Wa Ada’ul-Hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu[1]. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al Karmani[2]-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ul al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
secara terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.[3]
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya
2. Syarat-syarat Tahammul Hadits.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
a. Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
b. Berakal sempurna.
c. Tamyiz.
Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll[4], tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam[5]. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh[6].
3. Syarat-syarat Ada’ul-Hadits.
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
a. Islam,
b. balig,
c. berakal,
d. takwa[7].
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti diungkapkan al Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sigaht Tahammul Wa Ada’ al-Hadist dan Implikasinya Terhadap-Persambungan Sanad
4. Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a. Simak (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi)[8]. Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. al Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri memaparkan yang juga disebut al Ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel[9]. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil[10].
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
  • Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
  • Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
  • Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”[11]. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
g. Wasiat[12].
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Daftar Pustaka
[1] Umar Hasyim, Qowaid Usul al-Hadits
[2] Badruddin Abu Muhammad al Aini, Umdah al Qarii Syarhu Shahih Bukhari, vol 2, , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001.
[3] Moch Zainuddin al Iraqi, al Taqyid Wa al Idlah,t.t., t.t. : Muassasah al Kutub al Tsaqafiyah,.
[4] Aisyah Abdurrahman, Muqadimah Ibnu Shalah Wa Mahasinu al Istilah, (1990, Kairo : al Ma’arif)
[5]Ahmad Muhammad Syakir 1979, al Ba’its al Hadits , Kairo : Dar al Turats.
[6] Syamsudin Moch Abdurrahman al Sakhawi, Fathul Mugits Syarhu Alfiyatul Hadits, vol 1, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001.
[7] Al Shiddik Basyir Nashr, Dlawabith al Riwayah ‘Inda al Muhadditsin, 1992, t.t. : Thorobulus, Hal-116.
[8] Dr. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if Baina al Muhadditsin Wa al Du’aat, 1993, Maktabah Alfu Fa’.
[9] Moch Jamaluddin al Qasimi, Qawaid al Tahdits Min Fununi Musthalah al Hadits, t.t., Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah.
[10] Subhi Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin)cet. XXI.

[12] Muhammad ‘Ujjaj al-Khathib, 1989, Ushul Al-Hadits Ulmuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr).

Jina wajina lirik

 Jina wajina