Saturday, November 9, 2013

ilmu pendidikan islam


PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Written By Abdur Rouf on Tuesday, Nopember 09, 2013 | 10:59 AM
       I.            PENDAHULUAN
Islam mengajarkan manusia agar selalu menuntut ilmu. Banyak ayat  dalam alquran yang menjelaskan agar manusia terus menuntut ilmu sejak ia dini, sampai menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan berilmu. Bahkan disebutkan “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Pernyataan tersebut berartian bahwa kita harus menuntut ilmu sampai sejauh apapun ilmu tersebut berada.
Ada banyak hadits yang menunjukkan keutamaan orang berilmu, salah satunya disebutkan bahwa orang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah, yang berpuasa, dan yang menghabiskan waktu malamnya untuk mengerjakan shalat, bahkan melebihi orang yang berperang di jalan Allah.
Sedangkan orang berpengetahuan yang mau mengajarkan dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada  orang lain itu lebih utama, karena tugas yang diembannya hampir sama seperti tugas yang diemban seorang rasul. Seseorang tersebut dapat disebut sebagai pendidik.
Dalam pandangan islam, seorang pendidik juga disebut sebagai murabi, mu’allim, mu’addib,ataupun mursyid, dan terkadang diberi gelar sebagai seorang ustadz, syekh, dan kiyai. Dalam konteksnya, seorang pendidik memiliki syarat sebagai pendidik dan tugas-tugasnya yang telah diatur yang kemudian akan kita bahas dalam makalah ini.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.       Apa pengertian pendidik dan tugas para pendidik?
B.       Apa saja jenis dan syarat-syarat sebagai seorang pendidik?
C.       Bagaimana kedudukan seorang pendidik menurut perspektif pendidikan islam?

 III.            PEMBAHASAN
A.       Pengertian dan Tugas Pendidik
1.    Pengertian Pendidik
Dalam pandangan islam, pendidik ialah mereka yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik.[1] Pendidik adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain.[2]
Disini yang dimaksud dengan mereka yang bertanggung jawab adalah kedua orang tua peserta didik. Orang tua peserta didik adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pendidikan peserta didik tersebut. Ini disebabkan oleh dua hal yaitu,pertama adalah karena kodrat orang tua yang dititipi seorang anak dari Allah SWT, maka mereka harus bisa mengasuh anaknya dan bertanggung jawab atas pendidikan anaknya sehingga anak-anak mereka tidak tersesat dalam kehidupannya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua itu sendiri. Sebagai orang tua pasti mengharapkan anak-anaknya dapat menjalani hidup dengan sukses, sehingga para orang tua harus mendidik anaknya agar dapat menghadapi peradaban zaman.
Namun, pada zaman sekarang ini bukanlah hal yang efektif jika pendidikan kepada anak hanya dilakukan oleh orang tua. Ini akan membutuhkan biaya yang lebih besar, dan para orang tua hanya mempunyai waktu untuk mendidik sang anak saja. Padahal mereka juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga. Maka disinilah peran sekolah sangat penting untuk peserta didik. Orang tua menitipkan anaknya untuk dididik di lingkungan sekolah dengan mengeluarkan biaya yang lebih ringan dan orang tua dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya.
Dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid.[3] Menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks Islam, kelima istilah ini mempunyai makna yang berbeda.Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mu’allimadalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya sertamenjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi. Mu’addibadalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.

2.    Tugas Pendidik
Para ahli pendidikan islam dan ahli pendidikan barat mengartikan bahwa tugas seorang pendidik adalah mendidik. Mendidik dapat dijabarkan dalam bentuk mengajar, memberikan dorongan atau motivasi, memuji, menghukum, memberi contoh ataupun dalam bentuk pembiasaan diri. Dari segala bentuk mendidik tersebut akan menghasilkan pengaruh positif bagi pendewasaan anak.
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam literatur barat, selain mengajar seorang guru atau pendidik memiliki tugas lain yaitu membuat persiapan mengajar, mengevaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang bersangkutan dengan pencapaian tujuan mengajar.[4]
Tugas-tugas pendidik tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a.    Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, pendekatan atau pergaulan, angket, dan sebagainya.
b.    Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
c.    Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
d.   Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
e.    Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
f.     Guru harus mengetahui karakter murid.
g.    Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya.
h.    Guru harus mengamalkan ilmunya, dan jangan berbuat yang berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya.
Sedangkan peran pendidik dalam pendidikan dijabarkan sebagai berikut:[5]
a.    Fasilitator, yakni menyediakan situasi dan kondisi yang dibutuhkan peserta didik.
b.    Pembimbing, yaitu memberikan bimbingan terhadap peserta didik dalam interaksi belajar-mengajar, agar sisiwa tersebut mampu belajar dengan lancar dan berhasil secara efektif dan efisien.
c.    Motivator, yakni memberikan dorongan dan semangat agar siswa mau giat belajar.
d.   Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan belajar peserta didik maupun pendidik.
e.    Manusia sumber, yakni ketika pendidik dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peserta didik, baik berupa pengetahuan (kognitif), ketrampilan (afektif), maupun sikap (psikomotorik).

B.       Jenis dan Syarat-syarat sebagai Pendidik
1.    Jenis Pendidik
Menurut Prof.Dr. Mohammad Athiyah Al-Abrasyi, pendidik dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:[6]
a.    Pendidik kuttab, yaitu pendidik yang mengajarkan alquran pada anak-anak di kuttab.
b.    Pendidik umum, yaitu pendidik pada umumnya. Ia mengajar di lembaga-lembaga pendidikan yang mengelola atau melaksanakan pendidikan islam secara formal seperti madrasah, pondok pesantren, pendidikan di masjid dan surau,ataupun pendidikan informal seperti pendidikan yang dilakukan dalam keluarga.
c.    Pendidik khusus, yaitu pendidik yang memberi pelajaran khusus kepada seseorang atau lebih dari seorang dari anak pembesar, pemimpin negara atau khalifah, seperti pendidikan yang dilakukan dirumah-rumah misalnya di Istana.

2.    Syarat-syarat sebagai Pendidik
Soejono (1982:63-65)[7] menyatakan bahwa syarat secara umum sebagai seorang pendidik atau biasa disebut sebagai guru adalah sebagai berikut:
a.    Sudah dewasa, yaitu orang dewasa yang dapat  diberi tanggung jawab. Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak umur 18 tahun atau dia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan, umur 21 tahun adalah tahun laki-laki dan tahun perempuan cukup dewasa.
b.    Sehat jasmani dan rohani. Jika seorang pendidik tidak sehat jasmani atau sakit, akan mengganggu kegiatan mengajar. Bahkan dapat menularkan penyakitnya kepada peserta didik. Dan jika seorang itu tidak sehat rohani, maka akan sangat berbahaya pada perkembangan peserta didik. Bagaimana mungkin seorang peserta didik yang meniru pendidik yang sakit rohaninya akan berhasil.
c.    Harus ahli.
d.   Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi.
Sedangkan syarat guru dalam islam yaitu:[8]
a.    Umur, harus sudah dewasa.
b.    Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani.
c.    Keahlian, harus ahli dalam bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar).
d.   Harus berkepribadian muslim.
Dalam ilmu pendidikan Islam, secara umum guru yang baik harus mempunyai kriteria-kriteria di bawah ini :
a.       Bertaqwa kepada Allah.
b.      Berilmu sebagai syarat untuk menjadi guru.
c.       Sehat jasmaninya.
d.      Berkelakuan baik / berakhlak mulia.
e.       Bertanggung jawab dan berjiwa nasional

C.       Kedudukan Pendidik dalam Perspektif Islam
Pendidik adalah bapak rohani begi peserta didik yang memberikan ilmu, pembinaan akhlaq mulia, dan memperbaiki akhlaq yang kurang baik. Kedudukan tertinggi pendidik dalam Islam tertuang dalam teks
كن عالما او متعلما او سامعا او محبا، ولا تكن خا مسا حتى تهلكة
“Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak.”
Dalam Al-qur’an disebutkan :
“Allah akan meninggikan (derajat) orang-orang yang berilmu di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat.”
( QS. Al Mujadalah : 11 )
Dalam beberapa hadits Rasulullah juga disebutkan beberapa keutamaan seorang pendidik, diantaranya :
ان الله سبحا نه وملا ئكته واهل سماواته و ارضه حتى النملة فى حجرها و حتى الحوت فى البحر ليصلون على معلمى النا س الخير ( رواه التر مذى )
“Sesungguhnya Allah yang Mahasuci, malaikat-Nya, penghuni-penghuni langit dan bumi-Nya, termasuk semut dalam lubangnya dan ikan dalam laut, akan mendo’akan keselamatan bagi orang-orang yang mengajar manusia pada kebaikan.” (HR Turmizi)

من علم علما فكتمه الجمه الله يوم القيا مه بلجام من نار (رواه آبو داود و الترمذي و ابن حبان)
“Siapa orangnya yang diajari suatu ilmu lalu dia menyembunyikan, maka Allah akan mengekangnya di hari kiamat dengan kekangan api neraka.”( HR. Abu Dawud, Tirmizi dan Ibnu Hibban )
Dari ayat dan hadits di atas, menjelaskan betapa pentingnya menjadi seorang pendidik karena pendidik mempunyai tanggung  jawab dalam menentukan arah pendidikannya. Oleh karena itu, Islam sangat menghargai orang – orang yang berilmu dan mau menyampaikan kepada orang lain.

[1] Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hal.110
[2] Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011) hal.86
[4] Op.cit., hal. 113
[5] Op.cit., hal.93-94
[6] Op.cit., hal.118
[7] Ibid, hal.122
[8] Ibid, hal. 123

Thursday, August 15, 2013

Supremasi Korupsi

Ada beberapa respons manusia ketika orang lain mencuri hartanya, harta bersama, atau harta Negara. Pertama, respons materiil. Eman hartanya hilang. Tak bisa terima. Alasannya, pemilikan atas harta itu sendiri. Kalau yang dicuri itu harta bersama, misalnya harta rakyat atau negara, ketidakterimaan atas pencurian itu didasari oleh menjadi berkurangnya kekayaan negara.

Kedua, respons keadilan. Tak bisa merelakan perampokan itu dengan alasan seharusnya harta dibagi bersama, tidak boleh ada yang enak sendirian. Kaya atau miskin tak masalah, asalkan atas dasar hak bersama.

Ketiga, respons moral. Mencuri itu merusak nilai kemanusiaan dan menghancurkan kehidupan. Setiap manusia memiliki kewajiban yang sama untuk menghindarkan atau menghalangi pencurian, atas harta siapapun, tanpa ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri atas harta. Yang utama diselamatkan adalah ''orang mencuri'', bukan ''harta dicuri''. Para pencuri harus ditolong dan diselamatkan kemanusiaannya, dengan cara ditangkap dan dihukum. Korupsi itu salah, menghukum koruptor itu benar, membiarkan korupsi itu salah-kuadrat.

Keempat, semacam respons sufistik-dialektis, yang berpedoman pada, dan meyakini pandangan Tuhan bahwa setiap kebaikan akan kembali kepada (menjadi manfaat bagi) pelakunya, demikian juga setiap kejahatan akan berbalik (menjadi bencana yang) menimpa penjahatnya. Lebih dari itu, diyakini juga bahwa kejahatan akan berbuah kebaikan pada yang dijahati.

Ada kalimat kun madhluman wa la takun dhaliman, jadilah orang yang dianiaya, jangan menjadi orang yang menganiaya. Lebih beruntung dirampok daripada merampok. Memfitnah itu rugi besar, difitnah itu berkah. Semakin disengsarakan, semakin terjamin kebahagiaan. Setiap kejahatan yang ditimpakan adalah investasi keuntungan bagi yang ditimpa kejahatan.

Respons jenis ini bisa diekstremkan: semakin penipu yang memerintah, semakin cerah masa depan rakyatnya. Semakin banyak koruptor, semakin terjamin rezeki anak cucu. Pilihlah pemimpin negara yang seburuk mungkin. Bangunlah pemerintahan yang sekorup mungkin. Kalau hari ini tingkat budaya korupsi mungkin mencapai 70%, selayaknya ditingkatkan menjadi kalau bisa sampai 95% ke atas.

***

Keenam, saya eufemisasikan: respons pertapa. Jiwa pertapa duduk bersila dalam keheningan individual, tidak bisa disentuh oleh riuh rendah urusan negara dan gegap gempita korupsi. Pertapa duduk hening dalam kekhusyukan jiwanya sendiri. Ia kuat dan tangguh. Tidak terpesona dan tidak tergoda. Tidak tergiur oleh kebaikan dan tidak tertekan oleh kebusukan di luar dirinya. Kasak kusuk tentang orang mencuri, merampok, dan korupsi itu mubazir. Itu semua tidak penting ada atau tiada. Sebab pertapa sangat mandiri dengan konsentrasi mental dan kejiwaannya sendiri.

Saya ''bersangka baik'' mayoritas rakyat kita adalah jenis ini. Para pertapa menenggelamkan diri di ruang pertapaan pekerjaannya masing-masing. Di sawah-sawah, warung-warung, di ruko-ruko, di jalanan. Di ruang gelap egosentrismenya sendiri-sendiri, di kepulan asap khayalannya, imaji-imaji subjektifnya, dalam persangkaan dan anggapan-anggapannya masing-masing. Yang di luar itu -orang lain, masyarakat, Negara, undang-undang, aturan-aturan- tidak penting-penting amat, kecuali ketika kongkret, dan langsung memberinya keuntungan atau kerugian.

Pertapa juga tidak terusik jika orang menyebutnya bodoh, buta sosial, a-politis, mata kuda, tidak punya wawasan, tidak mengerti bahwa ia sedang dizalimi, tidak peduli ada kemaslahatan bersama, atau diklaim apapun berdasarkan nilai atau terminologi yang bagaimanapun.

Keenam, asal-asalan saja kita sebut respons reformasi. Reformasi Indonesia yang bergulir mulai 1998 sedang mengalami evolusi yang mungkin sangat panjang. Tahapnya sekarang, dalam konteks korupsi: ''Kamu jangan korupsi. Maksud saya, jangan hanya kamu yang korupsi. Gantian. Saya juga ingin." Reformasi melapangkan dan melebarkan jalan korupsi, mematangkan orde korup menuju era korupsi absolut. Korupsi adalah hak asasi setiap manusia. Ekspresi kebebasan makhluk hidup. Potensi korupsi sudah tersedia sangat melimpah dalam kebudayaan masyarakat. Spirit korupsi sudah bersemai sejak dari cara berpikir, menyusun niat, melangkah bekerja di bidang apapun.

Hamparan luas dan tekstur demokrasi juga tak bisa menghindar untuk mengandung lobang-lobang yang bisa dimanipulisai pelakunya untuk melakukan korupsi, asalkan tidak ketahuan. Dan supaya kemungkinan ketahuan bisa diminimalisasi, maka korupsi sebaiknya dilakukan secara berjamaah, dengan saf-saf yang rapat, agar tidak bisa diisi oleh setan-setan yang tidak terbuat dari sesama manusia: minal jinnati wan-nas. ''Saya aktivis andalan, sudah puluhan kali demo dan ratusan kali orasi revolusi: awas kalau saya nggak jadi komisaris perusahaan ini atau itu. Minimal jadi staf ahli presiden atau wakil menteri, sekurang-kurangnya direkayasa menang tender proyek-proyek."

''Martabat politik dan nilai dasar perjuangan saya adalah kepiawaian memilih karier, yakni numpang partai politik yang menang." Rakyat menghormatinya, mengaguminya, mengidolakannya, mencium tangannya, mengangkatnya sebagai pejabat sangat tinggi, ternyata maling.

***

Korupsi uang dan harta, korupsi waktu, korupsi identitas, korupsi berupa pemalsuan atau lazim disebut pencitraan, korupsi peluang-peluang, korupsi kedaulatan dan kewenangan, korupsi huruf, kata dan makna, korupsi jebakan pasal undang-undang. Atau korupsi tipu daya konstitusi yang menutup kemungkinan manusia sejati nasionalis sejati menjadi pemimpin. Korupsi tafsir, korupsi informasi, berbagai-bagai jenis dan wilayah korupsi --sudah menjadi habitat primer bangsa kita.

Dan dalam keadaan separah itu, sekarang kita berangkat ke 2014 tetap dengan mempercayai apa-apa dan siapa-siapa yang sudah terbukti sangat merusak untuk tetap dipercaya, serta tetap memakai perangkat-perangkat nilai dan formula yang sudah jelas sangat menghancurkan untuk terus dipakai. Untunglah kita tak henti teriakkan ''supremasi hukum'', sebagai cerminan bahwa yang mengepung kita adalah kenyataan pelanggaran hukum. Dan di antara sekian banyak jenis pelanggaran hukum, yang unggul dan menang adalah "supremasi korupsi".

Kita semua anti-korupsi, meskipun anti-korupsi tidak pasti sama dengan tidak suka korupsi. Kalau kita ketahuan korupsi, ditangkap, diadili, dan dipenjarakan - kita sangat menyesal kenapa kurang rapi mengatur kegemaran utama kita itu sehingga tertangkap.

Korupsi itu cenderung menyenangkan. Sehingga orang yang berani tidak melakukannya, tergolong memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi. Di bulan Ramadan aslinya enak tidak berpuasa daripada berpuasa: maka tinggilah derajat orang yang rela berpuasa. Berpuasa adalah ikhlas tidak melakukan sesuatu yang ia sukai, atau rela melakukan yang tidak disukai.

*** Baru hari ini saya menyadari bahwa jaman edan Pujangga Ronggowarsito bukanlah kisah tentang zamannya, melainkan keadaan dua abad sesudah era beliau. ''Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun...." Dalam ungkapan sehari-hari orang menuturkan ''amenangi jaman edan, yang tidak ikut edan tidak kebagian, dan pasti kelaparan...''

Kalau situasi kehidupan di era Raden Bagus Burham santri Kyai Kasan Besari Ponorogo, 1802-1844, disebut jaman edan: apa sebutan yang sepadan untuk tingkat sangat tinggi keedanan Indonesia 2013? Sayang sekali kalimat ''kalau tidak ikut edan, tidak akan kebagian sehingga menjadi kelaparan'' sangat merasuk dan dipercaya oleh masyarakat. Sehingga ''yang tidak takut tidak kebagian'' jumlahnya sangat minimal. Maka, yang paling realistis menggapai sukses adalah korupsi, baik karena kemelaratan maupun karena keserakahan.

Teknologi peradaban korupsi sejak tahap niat hati, dan cara berpikir otak. Kemudian diaplikasikan pada setiap langkah kaki dan gerak tangan, di wilayah keuangan sampai pun agama dan perhubungan dengan Tuhan. Kosakata paling dasar yang dikorupsi adalah ''akal''. Puluhan kali Tuhan menyindir ''Apakah kalian tidak mengakali? Afala ta'qilun?." Makna mengakali adalah memperlakukan sesuatu dengan kecerdasan dan kreativitas akal, sehingga hutan menjadi sawah dan kebun, tanah menjadi batu-bata, kapas menjadi pakaian, kayu menjadi rumah, logam menjadi pesawat, bunyi menjadi lagu, ketela menjadi kripik, tepung menjadi roti, bayi menjadi manusia dewasa.

Kita korup makna "mengakali" menjadi berarti meliciki, mencurangi, mengelabuhi, menipu-daya. Akal satu-satunya unsur anugerah Allah yang membuat manusia menjadi benar-benar manusia, sudah kita eliminasi substansinya. Maka Tuhan menyebut kita ''ulaika kal-an'am, bal hum adholl': mereka layaknya hewan, bahkan lebih hina dari itu.

Modernisasi kehidupan juga tidak membuat manusia mampu membedakan "uang", "gaji", "pendapatan", "laba" dengan "rezeki". Orang berebut uang, memperjuangkan kenaikan gaji, mengakali peningkatan pendapatan, merundingkan marking-up laba, karena menyangka itu semua sama dan sebangun dengan rezeki. Manusia tidak mendayagunakan ilmunya untuk mengkreatifkan, dan mengeksplorasi kemungkinan sumber-sumber rejeki yang Tuhan sendiri merumuskannya dengan idiom ''min haitsu la yahtasib'': berasal dari mata air yang tak diperhitungkan, yang tak terduga, yang tak hanya terbatas pada lajur-lajur lembar akuntansi.

Seorang Ki Ajar, guru masyarakat, kalau kebun-kebun buahnya panen, mempersilahkan masyarakat dan siapa saja terlebih dahulu mengambilinya, kemudian beliau mengais sisa-sisanya untuk diri dan keluarganya. Sesudah itu ribuan peristiwa ''min haitsu la yahtasib'' membuat Ki Ajar tetap saja merupakan orang terkaya di daerahnya. Seorang maula ditanya oleh malaikat, ''Kenapa kamu tidak ikut berebut harta, karier, jabatan, peluang, asset, akses, sebagaimana semua rekan-rekanmu?" Dijawab, ''Saya tidak tega karena kemungkinan besar saya menang dalam persaingan dan perebutan. Jadi saya memilih jadi pembantu rumah tangga Tuhan saja, terserah beliau menyuruh saya melakukan apa."

Karena orang tidak mau belajar, malas meneliti, tidak tekun berlatih, serta tidak berani ambil risiko mengaplikasikan ''min haitsu la yahtasib'', maka pilihan utama hidupnya ialah menghimpun cara dan strategi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan modal sekecil-kecilnya. Bisa dengan menciptakan secara eksklusif ''etika perekonomian dan industri'' yang permisif terhadap substansi etika yang sebenarnya. Bisa dengan manipulasi aturan. Bisa dengan penipuan wacana-wacana dalam retorika keusahaan. Tapi yang paling pragmatis adalah korupsi. Korupsi itu dilakukan diam-diam dan tidak jantan. Levelnya sama dengan pengutil atau pencopet. Kalah terhormat dibandingkan dengan perampok atau penjambret.()

Jina wajina lirik

 Jina wajina